‘Rachel Anggraini’
Nama itu membuatku terenyah. Ia sosok remaja yang sempurna dimataku, ia pintar, cantik dan baik. Bagiku, keberuntungan selalu menyangkut pada dirinya. Rachel menjadi siswa kebanggaan sekolahku atas semua prestasinya, mulai dari akademik hingga non akademik. Bahkan, Rachel disebut-sebut akan dinobatkan sebagai siswa terbaik pada award night nanti.
“Neng, nasi gorengnya dua”
Suara itu menggoyahkan lamunanku akan Rachel, aku harus bergegas melayani pelanggan bapakku. seusai menyiapkan pesanan tadi, aku kembali duduk di pinggir gerobak, sambil mengingat-ingat lanjutan lamunanku yang sempat terpotong.
Setiap hari aku harus membantu emak dan bapak berjualan nasi goreng. Maklum, hanya dengan cara ini bapak bisa mendapatkan penghasilan, kalau tidak, bagaimana bisa aku membeli buku-buku yang harganya tak bisa dibilang murah. Sepulang sekolah, biasanya aku langsung ke pasar, setelah itu aku membantu emak menyiapkan bahan-bahan, lalu dilanjutkan dengan berjualan hingga tengah malam. Terkadang aku iri dengan semua temanku yang bisa belajar nyaman setiap hari, sedangkan aku harus mencuci piring atau mengelap meja disaat yang sama.
“Ati, coba lihat. Banyak anak-anak muda, teman kamu, nak?”, kata emak
Pandanganku langsung mengarah pada segerombolan remaja yang sedang menghampiri jualan bapak. Makin lama, wajah mereka mulai tak asing, ya mereka adalah teman sekelasku, yaitu Rachel, Keke, Didi, Hendra, Nugra, Yogi, Dian dan Dika. Mereka semua kaget melihatku ada disini, tak mau berbasa-basi, langsung ku persilahkan mereka semua duduk.
“kamu nggak les?”, Tanya Rachel.
Aku hanya mengeleng sambil menyiapkan nasi goreng pesanan mereka
“Kenapa, kalau kamu nggak lulus gimana?”, Tanyanya lagi
Aku langsung terdiam mendengarnya, ucapan Rachel memang sedikit benar. Namun, tetap saja aku tak bisa memaksakan emak untuk memberiku uang les. Untuk membeli buku saja rasanya sulit, apalagi membayar les dengan biaya ratusan ribu perbulannya. Mau menangis rasanya jika menghadapi masalah seperti ini, disatu sisi aku tak mau menyusahkan emak dan bapak, namun disisi lain aku ingin mereka bangga jika melihat nilaiku yang bagus nantinya.
Setelah mereka pulang, aku langsung mencuci piring dengan air mata yang menghujan. Ucapan Rachel terus mengiang di telingaku. Sekarang aku tahu, wajarlah jika ia terus memperoleh prestasi, itu karena Rachel berasal dari keluarga berada, jadi apapun bisa dilakukannya untuk mendukung semua prestasi Rachel. Belum hilang air mataku saat emak sudah berdiri di samping piring yang akan kucuci.
“Pulanglah, nak. Biar emak yang mencuci piring”, ucap emak seraya mengambil piring-piring di depanku.
Aku kembali menggeleng karena tak kuat menahan haru.
“Tidak apa-apa, mak. Ati saja yang mengerjakannya”, ucapku dengan terisak
“Emak tahu kamu akan ujian. Emak juga tahu kamu ingin ikut les seperti teman-temanmu tadi. Turutilah keinginanmu, toh itu semua untuk kebaikan, emak sama bapak akan berusaha mencarikan uang untuk membayarnya. Mulai besok biar emak sama bapak saja yang berjualan, kamu tidak perlu repot-repot membantu, fikirkan sekolahmu saja, nak.”
“Tidak usah. Biaya les itu mahal, mak. Emak tenang saja, Ati pasti bisa lulus tanpa les sekalipun.”
Ditengah himpitan ekonomi, aku masih bersyukur karena aku mempunyai keluarga yang tak pernah melepaskan cintanya untukku. Emak selalu bisa memberikan kehangatan cintanya padaku dengan penuh kelembutan dan kasih sayang, juga bapak yang ikhlas membanting tulang agar aku dapat menikmati hidup. Itulah yang membuatku terus bangkit dan selalu berusaha untuk menjadi yang terbaik bagi mereka.
Sejak kejadian malam itu, aku terdorong untuk berusaha lebih giat dalam rangka membanggakan emak-bapak. Pukul 03.00 biasanya aku bangun untuk menyempatkan belajar hingga pukul lima subuh. Kemudian shalat, lalu dilanjutkan dengan membersihkan rumah pada pukul 05.30, setelah itu aku langsung bersiap-siap ke sekolah. Di sekolah pun, aku selalu fokus dengan misi awalku, yaitu belajar, belajar dan belajar. Begitu juga saat aku sedang membantu bapak berjualan, membaca buku selalu aku sempatkan dikala sedang mecuci piring atau pun sambil mengelap meja.
***
Lima bulan kemudian…
Aku duduk di antara emak dan bapak dengan mengenakan kebaya marun yang kupinjam dari mbok Yeyen, tetanggaku. Inilah acara yang paling ditunggu-tunggu seluruh siswa setelah mengikuti ujian beberapa waktu lalu, yaitu award night. Pagi tadi emak dan bapak begitu sumringah saat mengetahui bahwa anak semata wayangnya lulus, itulah sebabnya mereka begitu semangat menyewa kebaya dan kemeja hanya untuk menghadiri acara ini.
Berbagai pengumuman prestasi sudah tuntas dibacakan, tepat dugaanku bahwa Rachel lah yang paling banyak mendapatkan penghargaan. Emak dan bapak pun sampai menggeleng-geleng melihat kesuksesan siswi tersebut, emak juga terus membanggakan diri kalau ia pernah membuatkan nasi goreng untuk Rachel.
Acara selanjutnya adalah pembagian SKHU siswa sekaligus pengumuman siswa siswi yang mendapat nilai tertinggi. Lagi-lagi Rachel mendapatkan peringkat pertama, kemudian disusul dengan Keke, dan peringkat ketiga diisi oleh namaku, disebutnya namaku oleh direktur membuat emak tersenyum lega, ia tak percaya aku bisa mendapatkan prestasi ini. Emak dan bapak langsung memelukku, meskipun tak menjadi yang pertama, mereka tetap bangga padaku , karena hal ini memang diluar nalar, aku yang tak pernah mendapat prestasi apa-apa kini menduduki peringkat ketiga.
Sebelum acara ditutup, disempatkan pula pengumuman siswa terbaik tahun ajaran ini. Semua mata langsung menuju ke arah Rachel, dari awal acara pun semua dapat menduga jika ia yang akan mendapat predikat ini.
“Dan, siswa terbaik tahun ini adalah Suryati Priandini”, ucap direktur sekolahku
Suasana hall langsung hening, semua orang seakan tak percaya bahwa seorang gadis biasa sepertiku bisa mendapatkan predikat siswa terbaik. Melihat reaksi dari semua tamu, ibu direktur langsung mulai mengungkapkan alasan. Ternyata alasannya sepele, yaitu karena kegigihanku menggapai cita-cita di tengah kondisi keluarga yang tak memungkinkan untuk memberikan fasilitas yang lengkap bagi pendidikan anaknya. Air mata emak tak bisa dibendung lagi, ia benar-benar haru dan bahagia atas kejadian ini, diciumnya keningku dan dipeluknya erat tubuh kurusku.
Kini aku sadar, prestasi itu tak harus dalam bentuk fisik yang nyata. Selain itu, untuk mewujudkan sebuah prestasi tak harus diawali dengan kemapanan sebuah keluarga, juga tak harus dengan fasilitas yang mewah. Tapi prestasi akan lahir seiring dengan kuatnya tekad kita dalam mewujudkan mimpi-mimpi, yang terpenting adalah yakin bahwa kita mampu, tak peduli meskipun itu terasa tabu untuk diwujudkan.
0 komentar:
Posting Komentar