Sagata Fams
Sebelas IPA Tiga SMANSATA 2010-2011 + Dua Belas IPA Tiga SMANSATA 2011-2012 = Sagata ŦαмιLγ

Rabu, 26 Oktober 2011

Bintang di Pinggir Jalan


Bintang di Pinggir Jalan

Mentari yang bersinar terang. Langit-langit biru mengalir indah di angkasa sana. Kilauan putihnya awan mengikuti arah arus aliran langit biru. Terkadang, seruan angin menyapa kegersangan dunia. Mentari yang bersinar begitu menyengat kulit. Sangat panas. Semua rumah tertutup rapat, pintu dan jendela tak tampak mencuat terbuka tuk menghirup udara panas.

Panas yang begitu membakar. Laksana tak tampak kehidupan di dalamnya. Di bentangan jalan yang begitu panjang, hanya sedikit lalu lalang kendaraan. Mungkin dapat dihitung dengan jari. Begitu juga belaian angin, hanya sesekali menyapa kemudian pergi entah kemana. Dari sudut kiri jalan, tampak seorang anak laki-laki di dalam teriknya panas mentari. Ia melihat kiri-kanan lalu lalang kendaraan yang lewat. Hanya dapat menatap.


Denga baju kaos berwarna biru, celana pendek berwarna orange, dan topi abu-abu menempel erat pada dirinya, tampak kusut. Anak itu terus memperhatikan lalu lalang yang melintas di depan matanya. Terkadang ia mengambil sebotol air dari dalam tasnya. Hingga datanglah seorang pria menghampirinya.


“Ini makanan apa dek?” tanya pria tersebut sambil menunjukkan jarinya ke arah tumpukan-tumpukan keripik singkong dengan untaian manisnya gula merah di atasnya di dalam sebuah toples besar.


“Opak mas. Harganya seribu,” jawab anak itu. Pria tadi terlihat sedang memperhatikan makanan yang dijual anak tersebut.

“Saya beli lima ya”.


Dengan segera anak itu langsung menuruti permintaan pria tadi. Dia mengambil lima buah opak dari toples besarnya. Memasukkannya ke dalam kantong plastik putih. Dan memberikannya kepada pria tersebut. Pria tersebut mengabil opak tersebut seraya memberikan uang lima ribu rupiah.


“Terima kasih mas,” ucap anak itu seraya mengambil uang pemberian dari pria tadi. Kemudian, pria tadi tersenyum kepada anak tadi.

“Jualan dari jam berapa dek di sini?”

“Jam sepuluh pagi mas”.

“Saya lihat, baru satu toples opak yang habis. Masih ada dua lagi”.

“Iya mas, lalu lalang di sini saja renggang. Cuacanya panas banget. Orang-orang pada nggak mau menyetopkan kendaraannya tuk singgah”.


Angin sedikit berhembus. Namun matahari tetap saja menyengat kulit. Tidak salah, di kota ini cuacanya tak menentu. Sebentar panas, sebentarnya lagi hujan. Kalau hujan, ya udaranya begitu dingin menusuk sumsum tulang. Namun, bila panas udaranya bukan main, sangat memanggang kulit.


“Cuacanya memang panas. Untungnya kamu jualannya di bawah pohon ketapang ini. Luamayanlah dapat mengurangi panas matahari”.


Anak itu hanya mengangguk rigankan kepalanya sambil menatap wajah pria yang berdiri di sampingnya.


“Mas nggak kerja? Ini kan sudah jam dua siang, waktunya orang-orang berdasi kayak mas kembali bekerja,” sahut anak itu.

Loh, memangnya saya nggak boleh sebentar berdiri di sini?”

“Bukan begitu mas. Saya hanya heran saja sama mas,” sahut anak itu lagi.


Pria tadi hanya tersenyum kepada anak itu. Kemudian ia menikmati opak yang telah ia beli. “Em… rasanya enak!” gumamnya.


Tuh kan, masnya ini aneh. Pertama, masnya ini maunya berteduh di bawah pohon di pinggir jalan di tengah panasnya udara siang, padahal lebih baik di kantor dengan ruagan full AC. Kedua, masnya mau saja makan makanan di pinggir jalan,” kata anak itu dengan polos.


Pria tadi tersenyum. “Kamu ini. Jadi saya nggak boleh di sini, toh saya kan bukan siapa-siapa. Bukan penjabat, bukan juga bos. Saya hanya manager di sebuah perusahaan”.

“Oh…” sahut panjang anak itu.

“Oh ya. Dek, kamu sekolah dimana?”

Anak itu tersenyum. “Saya nggak sekolah lagi”.

Pria itu langsung menghentikan kunyahan makanannya. “Loh, kamu berhenti sekolahnya pada kelas berapa?”

“Kelas 1 SD mas”.

“Kenapa kamu nggak lanjutin sekolah kamu? Sekarang kan ada dana BOS”.

“Saya bantu kedua orang tua saya mas. Kedua orang tua saya termasuk orang yang nggak mampu. Ayah saya hanya seorang kuli bangunan. Sedangkan ibu saya membantu penghasilan dengan membuat opak dan saya yang menjualnya,” jelas anak itu.

Pria itu terpaku mendengar perkataan anak tersebut. “Dek, sekarang umurmu berapa?”

“Umur saya delapan tahun mas”.

“Berarti kamu sudah putus sekolah kurang lebih dua tahun yang lalu”.

Anak itu hanya mengangguk.

“Tapi, Insya Allah saya akan berusaha mengejar mimpi saya mas,” gumamnya sambil tersenyum ke arah pria tersebut.

Pria itu tersenyum dalam kilauan mata yang berbinar.


0 komentar:

Posting Komentar